MAKALAH PEREKONOMIAN INDONEISA “KEMISKINAN DAN KESENJANGAN”
MAKALAH
PEREKONOMIAN INDONEISA
Disusun
Oleh :
Kintan
Bunga Larasati (23217228)
1EB01
Ekonomi/Akuntansi
Perekonomian
Indonesia
Universitas Gunadarma
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas segala - Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai .
Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya. Adapun
tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul Kemiskinan di Indonesia ini adalah sebagai pemenuhan
tugas yang diberikan demi tercapainya tujuan pembelajaran softskill
Perekonomian
Indonesia yang telah direncanakan.
Saya
berharap Makalah ini dapat membantu rekan-rekan dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan mengenai peluang bisnis, untuk itu kritik dan saran sangat
diharapkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di masa depan.
Depok,
14 Maret 2018
Penyusun
Daftar
Isi
Kata Pengantar.......................................................................... 1
Daftar
Isi................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang…………………………………………..... 3
1.2 Rumusan Masalah……………………………..………….. 3
1.3 Tujuan Pembahasan………………………………………. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kemiskinan………………………………….......4
2.2
Garis Kemiskinan…………………………………………...5
2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan di Indonesia.
………...6
2.4 Kemiskinan di Indoneisa …………………………………...9
2.5 Kebijakan Anti Kemiskinan oleh
Pemerintah……………...10
2.6 Contoh Kasus……………………………………………….11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan……………………………………………….22
DAFTAR PUSTAKA……………………………….….…24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia
terutama negara berkembang yang merupakan keadaan
dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan ,
pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan..Kemiskinan lahir bersamaan dengan keterbatasan sebagian manusia dalam
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kemiskinan juga dapat disebabkan oleh kelangkaan
alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan.
Di
Indonesia ini sendiri, ketimpangan dan kemiskinan menjadi fenomena isu yang
kompleks dan ruwet. Tiap rezim pemerintah dihadapkan pada PR menurunkan
kemiskinan dan mengurangi kesenjangan di negara berpenduduk 240 juta orang ini.
Isu ketimpangan ekonomi sudah ramai dibicarakan di Indonesia sejak 1970-an.
Ramai muncul kajian dan pemikiran mencari ramuan agar pertumbuhan ekonomi juga
bisa menciptakan pemerataan, yang akhirnya mengurangi ketimpangan antar
masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
kemiskinan?
2. Bagaimana cara mengukur kemiskinan?
3. Apa faktor penyebab kemiskinan?
4. Bagaimana keadaan kemiskinan di Indonesia?
5.
Bagaimana kebijakan untuk mengatasi
kemiskinan ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui pengertian kemiskinan
2. Mengetahui cara mengukur kemiskinan
3.
Mengetahui
faktor penyebab
kemiskinan
4.
Mengetahui keadaan kemiskinan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah
ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari
segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah
yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya
mencakup:
1. Gambaran kekurangan materi, yang
biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan
sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal
ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi
pada bidang ekonomi.
3.Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang
memadai, Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik danekonomi di seluruh dunia.
2.2 Garis
Kemiskinan
Garis
kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang
dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang
mencukupi di suatu negara.Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum
masyarakat mengenai garis kemiskinan lebih tinggi di negara
maju daripada di negara berkembang.
Hampir setiap masyarakat
memiliki rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Garis kemiskinan berguna sebagai
perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur rakyat miskin dan
mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya seperti program
peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran
untuk menanggulangi kemiskinan.
Garis kemiskinan menunjukkan
jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum
makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan
pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per
kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk
miskin.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mengumumkan angka penduduk miskin per September 2016. Berdasarkan catatan BPS,
angka penduduk miskin di Indonesia menurun sebesar 250 ribu jiwa menjadi 27,76
juta penduduk. Selain itu, Garis kemiskinan selama Maret 2016-September 2016
juga meningkat rata-rata sekitar 2,15 persen. Untuk kategori pedesaan, garis
kemiskinan berada pada level Rp 350.420. Adapun kategori perkotaan
berada pada level Rp 372.114.
Sumbangan
garis kemiskinan makanan masih termasuk kategori besar. Pada September 2016,
tercatat komoditas makanan menyumbangkan sebesar 73,19%. Kondisi ini tidak jauh
berbeda dengan kondisi Maret 2016 yaitu sebesar 73,5%. Garis Kemiskinan
dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin
atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
2.3
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan
masih menjadi bagaian dari kehidupan masyarakat Indonesia . Meskipun
sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membasmi
kemiskinan, namun kemiskinan masih menjadi topic yang selalu hangat dilayar
televise. Pergulatan yang terjadi di zaman sekarang membuat berbagai macam
faktor penyebab kemiskinan menjadi semakin sulit untuk diatasi.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
- Pola pikir masyarakat
- Pendidikan
- Persaingan di dunia kerja
Pola pikir masyarakat Indonesia
menjadi salah satu faktor kemiskinan , karena pola pikir masyarakat hanya
menetap. (Misalnya ada ibu menjadi seorang pengemis maka ibu tersebut akan
menyuruh anaknya untuk mengemis juga mengikuti jejak sang ibu). Oleh karena itu
kehidupan digenerasi yang selanjutnya akan tetap berada dalam kemiskinan. Andai
ibu tersebut sadar akan pentingnya pendidikan dan mengumpulkan uangnya dan
menyekolahkan anaknya maka anak tersebut akan mendapatkan pendidikan yang lebih
layak dari pekerjaan itu (pengemis) sehingga digenerasi selanjutnya taraf hidup
mereka akan lebih baik.
Rendahnya tingkat pendidikan yang
ada di Indonesia juga menjadi salah satu faktor adanya kemiskinan.
Apabila seorang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mka akan tinggi juga
kualitas hidup yang mereka miliki. Dari pendidikan tersebut menjadikan adanya
persaingan antar masyarakat yang amat ketat untuk mendapatkan pekerjaan.
Persaingan ini menimbulkan adanya pengangguran yang menyebabkan adanya
kemiskinan itu sendiri.
Dari beberapa faktor yang telah
disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masih sangat banyak hal yang
bisa mempengaruhi adanya kemiskinan di Indoneisa. Meskipun sudah banyak upaya
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun tetap saja masalah kemiskinan
masih blm dapat teratasi hingga saat ini. Oleh karena itu kita harus saling
tolong menolong untuk membantu menuntaskan masalah kemiskinan di Indonesia.
Secara umum faktor-faktor penyebab
kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya
terdiri dari dua bagian besar, yaitu :
1. Faktor
Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam individu yang mengalami
kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan,
yang meliputi :
a. Fisik
misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b.
Intelektual, seperti : kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.
c. Mental
emosional atau temperamental, seperti : malas, mudah menyerah dan putus asa.
d. Spiritual,
seperti : tidak jujur, penipu, serakah dan tidak displin.
e. Sosial
psikologis, seperti : kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress,
kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan. Universitas Sumatera Utara
f. Keterampilan,
seperti : tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.
g. Asset,
seperti : tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan,
kendaran dan modal kerja.
2. Faktor
Eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang
mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu
menjadikannya miskin, meliputi :
a. Terbatasnya
pelayanan sosial dasar.
b. Tidak
dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat memenuhi
kebutuhan hidup.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan
formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor infomal.
d. Kebijakan
perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung
serta usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistem ekonomi
kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan
pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat.
g. Dampak sosial negatif dari
program penyesuaian struktural (structural adjusment program).
h. Budaya
yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
i. Kondisi
geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.
j. Pembangunan
yang lebih berorientasi fisik material.
k. Pembangunan
ekonomi antar daerah yang belum merata.
l Kebijakan publik
yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
2.4 Kemiskinan di Indonesia
Diseluruh dunia masing-masing orang akan bangun setiap pagi
untuk menyongsong hari baru dalam keadaan yang berbeda satu sama lain. Sebagian
orang yang hidup nyaman tinggal di rumah-rumah dengan sekian banyak ruangan.
Mereka memliki lebih dari cukup persediaan makanan, pakaian yang bagus-bagus,
kesehatan yang terjamin dan dapat memikirkan jauh ke depan bagaimana cara
mengembangkan uang atau kekayaan mereka. Sedangkan sebagian yang lain – dan ini
meliputi lebih dari tiga-perempat penduduk bumi yang berjumlah lima setengah
milyar orang – tergolong orang yang kurang beruntung. Mereka tidak memliki
tempat tinggal yang layak dan bahan makanan yang cukup. Oleh karena itu pada
bab ini akan membahas mengenai kemiskinan di Indonesia .
Perkembangan
Tingkat Kemiskinan di Indonesia
- tahun 1976 sampai 2007.
jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada periode 1976-2007 berfluktuasi dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1976 penduduk miskin sekitar 54,2 juta jiwa (sekitar 44,2
juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 10 juta jiwa di perkotaan). Angka ini pada
tahun 1980 berkurang hingga menjadi sekitar 42,3 juta jiwa (sekitar 32,8 juta
jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,5 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang
sekitar 21,95 persen dari tahun 1976. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin
berkurang hingga menjadi sekitar 27,2 juta jiwa (sekitar 17,8 juta jiwa di
perkotaan, dan sekitar 9,4 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar
35,69 persen dari tahun 1980. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin mengalami
kenaikan hingga mencapai sekitar 34,5 juta jiwa (sekitar 24,9 juta jiwa di
perkotaan, dan sekitar 9,6 juta jiwa di perdesaan). Dibandingkan dengan tahun
1990, angka ini menurun sekitar 20,87 persen. Namun, pada tahun 2002 jumlah
penduduk miskin kembali meningkat hingga menjadi sekitar 38,4 juta jiwa.
Sementara, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi
sekitar 37.17 juta jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk miskin di Indonesia
disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi, pertambahan jumlah penduduk tiap
tahun, pengaruh kebijakan pemerintah dan sebagainya.(Badan Pusat Statistik).
- Tahun 2007–Maret 2008
Analisis
tren tingkat kemiskinan antara kondisi Maret 2007 dan Maret 2008 dimaksudkan
untuk mengetahui perubahan tingkat kemiskinan selama setahun terakhir. Garis
kemiskinan pada periode Maret 2007-Maret 2008 mengalami peningkatan sebesar
9,56 persen, yaitu dari Rp.166.697,- per kapita per bulan pada Maret 2007
menjadi Rp.182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008. Hal yang sama juga
terjadi di perkotaan dan di perdesaan masing-masing meningkat sebesar 9,02
persen dan 10,21 persen. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret
2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta (16,58 persen), berarti jumlah
penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta (Tabel 4.3). Jumlah penduduk miskin di
daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode
Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta,
sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta orang. Persentase penduduk
miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan
Maret 2007, sebagian besar (63,52 persen) penduduk miskin berada di daerah
perdesaan, sementara pada bulan Maret 2008 persentase ini hampir sama yaitu
63,47 persen.
2.5 Kebijakan Anti
Kemiskinan oleh Pemerintah
Cara
Pemerintah Mengatasi Kemiskinan di Indonesia :
- Menggerakan sektor real melalui sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini sangat efektif dalam mengatasi amsalah kemiskinan di Indonesia.
- Membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk mengurangi jumlah pengangguran, sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan di Indonesia.
- Menghapuskan tindakan korupsi yang membuat berbagai layanan untuk masyarakat terhambat sehingga membuat masyarakat tidak bisa menerima haknya sebagai warna negara. Akibatnya, kemiskinan di Indonesia semakin berkembang.
- Meningkatkan program zakat yang akan membantu menumbuhkan pemerataan kesejahteraan sekaligus mengatasi kemiskinan di Indonesia di dalam masyarakat. Sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial dan tingkat kekayaan.
- Menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok agar masyarakat memiliki kemampuan atau memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
- Menyediakan beasiswa bagi siswa miskin pada semua jenjang pendidikan, mulai dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, hingga perguruan tinggi. Juga menjadi salah satu solusi mengatasi kemiskinan di Indonesia.
- Memberikan pelayanan rujukan bagi keluarga miskin secara gratis, tanpa biaya apa pun. Cara mengatasi kemiskinan di Indonesia di bidang kesehatan ini berupa adanya kartu jamkesmas.
- Mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk masyarakat tidak mampu agar memiliki bekal dalam terjun ke dunia kerja. Cara mengatasi kemiskinan di Indoensia ini sangat ampuh diberdayakan di seluruh pelosok Indonesia.
- Memberikan subsidi atau bantuan kepada masyarakat tidak mampu, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi BBM, pengobatan gratis, dan sebagainya. Namun, dalam pemberian bantuan ini sebaiknya memperhatikan kondisi masyarakat dan diberikan secara bijak. Jangan sampai cara mengatasi kemiskinan di Indonesia ini malah akan membuat masyarakat menjadi malas bekerja. Dan menggantungkan diri pada bantuan pemerintah tersebut.
- Memberikan dana alokasi umum (DAU) agar pemerintah daerah dapat membantu mengentaskan kemiskinan di Indonesia secara umum.
- Melakukan reformasi tanah untuk rakyat dengan menggalakkan program transmigrasi. Agar masyarakat memiliki tanah yang diolah secara mandiri untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
2.6 Contoh Kasus
Provinsi Papua merupakan daerah yang kaya, dengan
tambang emas terbesar di Indonesia. Namun banyak penduduknya hidup dalam
kemiskinan dan ketakutan, karena penjagaan militer yang ketat oleh Indonesia,
melindungi tambang-tambang emas di sana. Para pendatang mulai menghuni tanah
Papua, membuat penduduk asli harus berjuang lebih keras untuk bertahan,
memperparah kemiskinan di Papua. Penduduk Papua khususnya kecewa terhadap
Presiden Joko Widodo, yang dianggap tak melakukan apapun untuk meningkatkan
taraf hidup mereka dan memperoleh keadilan.
Ketika
Bardina Degei memasak untuk makan malam, Ia tidak menggunakan kompor. Ia bahkan
jarang menggunakan panci. Di rumah kayunya di Enarotali, yang merupakan Ibu
Kota Kabupaten Paniai di Provinsi Papua, ibu rumah tangga tersebut biasanya
hanya menaruh ubi—atau dalam bahasa lokal disebut “nota”—langsung di atas api.
Setelah
setengah jam, ubi yang hangus tersebut diambil dan dimakan dengan tangan yang
belum dibersihkan. Degei duduk di atas lantai berlumpur—Ia tidak memiliki
perabot apapun—di tempat dimana Ia melakukan segala pekerjaan rumah hariannya,
seperti mencuci baju dengan air keruh dari rawa terdekat. Sebuah ember di dalam
ruangan tanpa atap dijadikan sebagai toilet.
(Foto: Ulet
Ifansasti/Getty Images)
Seorang
penambang emas ilegal menyaring pasir dan batu untuk mendulang emas di Timika,
Provinsi Papua, Indonesia, pada tanggal 4 Februari 2017. Sebagai istri termuda
dari empat istri yang dinikahi oleh suaminya, Ia tidak diharuskan mengurus
sawah (poligami adalah hal yang biasa di sini). Dan tentu saja, bekerja hingga
larut malam akan sangat berbahaya. Kebanyakan pria di desa tersebut tidak
bekerja dan banyak yang senang minum-minum, ditambah banyaknya tentara di desa
tersebut. “Tidak ada yang berani berjalan-jalan di sekitar desa setelah pukul 5
sore,” ujarnya.
Ini
adalah pemandangan yang jarang terjadi di dataran tinggi Papua, sebuah wilayah
bekas jajahan Belanda yang bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1969,
setelah adanya referendum yang kontroversial, di mana hanya 1.206 orang tetua
dipaksa untuk memberikan suaranya, meski sebelumnya pengambilan suara ini sudah
disetujui bersama.
Pergerakan
masyarakat yang menuntut kemerdekaan Papua dari Belanda, dengan cepat mengubah
kemarahannya menjadi kepada pemerintah di Jakarta, yang sangat mengendalikan
wilayah tersebut, dan melarang adanya jurnalis asing yang melakukan pengawasan.
Pada
tahun 2003, provinsi tersebut secara resmi terbagi menjadi Papua dan Papua
Barat, dan Papua Nugini yang telah merdeka menempati bagian timur pulau
tersebut.
Enarotali
adalah wilayah yang terpencil; perjalanan menuju wilayah ini meliputi 90 menit
penerbangan dari Ibu Kota Provinsi Jayapura ke Nabire, dan perjalanan dengan
menyewa mobil selama lima jam yang membuat perut mual (tidak ada transportasi
umum di sini). Kota yang dihuni oleh sekitar 19 ribu orang tersebut terdiri
dari rumah-rumah kayu yang dikeliling oleh pagar bambu, dengan atap besi
bergelombang yang penuh karat sehingga berubah warna menjadi kecokelatan.
(Foto: Ulet Ifansasti/Getty Images)
Warga
lokal bekerja untuk menangkap kepiting dari lokasi operasi penambangan di
Timika, Provinsi Papua, Indonesia, pada tanggal 2 Februari 2017. (Foto: Ulet
Ifansasti/Getty Images)
Hanya
sedikit masyarakat Indonesia yang menempuh perjalanan ke sini, apalagi para
jurnalis, dan yang pasti tidak ada orang asing. Sebelum para misionaris
Kristen tiba, suku Mee Pago di Papua menyembah Tuhan yang disebut Uga Tamee.
Ada beberapa perubahan juga. “Kami dulu tidak mengenakan pakaian seperti ini,”
ujar Degei, menunjukkan ikat kepalanya yang berwarna terang dan ditenun
sendiri, baju berwarna gelap, dan rok berwarna cerah. “Sebelumnya, kami
hanya menggunakan dedaunan di badan kami.”
Papua
merupakan provinsi termiskin di Indonesia, di mana 28 persen masyarakatnya
hidup di bawah garis kemiskinan, dengan tingkat kematian bayi terparah, dan
kemampuan membaca terburuk di Asia. Namun Papua juga merupakan tanah emas milik
Indonesia. Tambang minyak terbesar dan paling berharga di dunia, Grasberg,
dimiliki oleh Freeport McMoran yang berbasis di Phoenix, Amerika Serikat, yang
terhampar 60 mil dari Paniai, provinsi yang berada di dataran tinggi yang
berukuran sebesar New Jersey, dan merupakan rumah bagi 153 ribu penduduk.
Pada
tahun 2015 saja, Freeport telah mendulang emas dan tembaga seharga $1.3 milyar.
Selain itu, sumber daya kayu Papua diperkirakan mencapai seharga $78 milyar.
Namun
begitu, seluruh kekayaan ini adalah sumber penderitaan bagi masyarakat Papua,
dengan adanya kekuatan militer Indonesia yang terus berjaga. Penyelidikan pada
tahun 2005, yang dilaporkan oleh The New York Times, menemukan bahwa Freeport membayar
personel militer dan unit-unit lokal sebesar hampir $20 juta antara tahun 1998
dan 2004, termasuk uang sebesar $150 ribu untuk satu orang petugas. Warga Papua
meminta otonomi yang lebih besar untuk mengancam para perebut kekayaan ini dan
menangani mereka tanpa ampun.
Menurut
para aktivis hak asasi manusia, lebih dari 500 ribu masyarakat Papua telah
terbunuh, dan ribuan lainnya diperkosa, disiksa, dan dipenjara oleh para
pasukan militer Indonesia sejak tahun 1969. Pembunuhan massal di dataran tinggi
suku Papua selama tahun 1970 sudah termasuk ke dalam bentuk genosida, menurut
Komisi Hak Asasi Manusia Asia.
Kepolisian
Indonesia menangkap lebih dari 3.900 peserta aksi protes damai di wilayah
tersebut pada tahun lalu. Kami akan Kehilangan Segalanya, sebuah laporan
yang dikeluarkan oleh Archdiocese of Brisbane pada tahun 2016, menunjukkan
kesaksian yang menggambarkan kekejaman yang dilakukan pada tahun sebelumnya,
seperti eksekusi tidak sesuai hukum, penyiksaan—pemerkosaan dan hukuman dengan
menggunakan listrik sangat populer saat itu, menurut laporan lainnya—dan
penghancuran brutal terhadap demonstrasi yang berjalan dengan damai. “Sangat
sulit untuk menghitung jumlah korban dari kejadian yang terjadi setiap minggu,”
kata Andreas Harsono, seorang peneliti di Human Rights Watch.
Tekanan
semakin meningkat ketika sumber daya alam Papua membuat para pendatang
berdatangan dari seluruh daerah di Indonesia. Dari 3.5 juta populasi penduduk
di Provinsi tersebut, 83 persen di antaranya adalah umat Kristen, namun demografi
tersebut berubah ketika para migran ekonomi Muslim tiba dari pulau-pulau paling
berpopulasi lainnya seperti Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.
Kantin-kantin
warung khas Jawa menjual ayam goreng dan gado-gado (campuran sayur yang
disajikan dengan bumbu kacang). Penduduk lokal kemudian berjuang untuk ikut
berkompetisi.
“Para
migran tersebut mulai menjual ayam dan sayur di pasar tradisional lebih murah
daripada penduduk asli Papua,” ujar Abeth You (24 tahun), seorang penduduk asli
Papua yang pindah ke Ibu Kota Provinsi Jayapura untuk bekerja. “Hal ini membuat
para penduduk asli Papua—mama-mama (para wanita) di Papua—kehilangan
pasar mereka.”
Presiden
Indonesia Joko Widodo—alias Jokowi—berjanji untuk menanggulangi ketidakadilan
dan kekerasan terhadap hak-hak asasi manusia di Papua, pada masa kampanye
pemilihan presiden tahun 2014. Jokowi menjamin kesejahteraan di 27 kabupaten
dari total 29 kabupaten di Papua—termasuk Paniai—dalam usahanya menjadi
presiden. Namun hanya sedikit perubahan yang terjadi di Papua, dan masyarakat
lokal saat ini merasa dikhianati. “Hati kami hancur karena pada tahun 2014 kami
memberikan suara untuk Jokowi, dengan harapan Ia akan memenuhi harapan kami
untuk mendapatkan kembali keadalian,” ujar You.
(Foto: Ulet Ifansasti/Getty Images)
Seorang
penambang emas ilegal berjalan untuk mendulang emas di sepanjang sungai Aikwa
yang berlokasi di lokasi pertambangan resmi Freeport di Timika, Provinsi Papua,
pada tanggal 4 Februari 2017.
‘Saat itu Sangat Kacau, dan Banyak Peluru yang Ditembakkan’
Pada
kenyataannya, Paniai berada di titik terendanya hanya dua bulan setelah
pelantikan Jokowi pada bulan Oktober. Pada 7 Desember 2014, 11 anak-anak sedang
berada di luar rumah menyanyikan lagu natal di depan api unggun di Enarotali,
ketika dua orang tentara Indonesia dengan menggunakan sepeda motor menerobos
kegelapan. Anak-anak yang terkejut tersebut meminta mereka untuk menyalakan
lampu yang ada di kepala mereka.
Salah
seorang tentara tersinggung dengan perintah anak-anak tersebut dan kemudian
kembali bersama empat tentara lainnya, menurut Pastor Yavedt Tebai. Para
tentara tersebut—yang saat itu sedang mabuk—mengejar dan memukul sekelompok
anak-anak tersebut dengan ujung senapan mereka, ujar para korban dan saksi. Dan
salah seorang tentara menembaki sekelompok anak-anak tersebut.
Seorang
anak, Yulianus Yeimo (16 tahun), terluka sangat parah akibat dipukuli hingga koma.
Dua
jam kemudian, gedung Komisi Pemilihan Umum pemerintah setempat terbakar, dan
semuanya menjadi semakin parah keesokan harinya. Sekitar 1.000 pemuda pria,
wanita, dan anak-anak berkumpul di lapangan sepak bola di depan kantor polisi
dan pusat komando militer setempat untuk menuntut keadilan. Mereka mengadakan
upacara dengan membawa panah untuk berburu dan menampilkan tarian waita—berlari
membentuk lingkaran dan menirukan kicauan burung—yang merupakan tarian khas
suku Mee Pago Papua. Para peserta protes mulai melemparkan batu ke arah pos
polisi dan pangkalan militer.
(Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images)
Seorang
aktivis Papua menyampaikan pidatonya saat protes melawan penembakkan fatal
terhadap para remaja saat bentrokan yang terjadi dengan pasukan keamanan di
Enarotali, di Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta, pada tanggal 10 Desember
2014.
Dengan
tekanan yang semakin meningkat, terdapat perintah yang ditujukan kepada para
tentara melalui radio internal: “Jika massa tersebut menawarkan perlawanan
lebih dari tiga kali, tembak mati mereka,” ujar perintah tersebut, menurut
dokumen resmi yang dilihat TIME, yang belum diberikan kepada media lokal.
Yeremias
Kayame (56 tahun), kepala lingkungan Kego Koto di Enarotali, melihat bahaya
yang mengancam dan menenangkan para peserta protes, serta meminta mereka untuk
kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang mau mendengarkan. “Ketika saya
berbalik, tiba-tiba saya tertembak di pergelangan tangan kiri saya,” ujarnya
kepada TIME di teras rumah kayunya yang diberi warna cerah.
Kayame
masih tidak mengetahui siapa yang menembak, namun Ia mengatakan bahwa peluru
tersebut datang dari arah sekelompok tentara yang berkumpul. “Saat itu sangat
ramai, dan banyak peluru yang ditembakkan,” ujarnya menambahkan.
Seorang
penduduk lokal Alfius Youw tertembak tiga kali, menurut keterangan sepupunya
yang menyaksikan penembakan tersebut. “Saya berlari ke arahnya dan memeriksa
badannya untuk memastikan bahwa itu adalah dia,” Yohanes—seperti banyak masyarakat
Indonesia lainnya yang hanya memiliki satu nama—menceritakan kepada TIME dengan
muram. “Saya melihatnya tewas…saya menciumnya.”
Kepala
Kepolisian Papua Inspektur Jenderal Yotje Mende, mengatakan kepada para
wartawan bahwa para petugasnya hanya “menyelamatkan” pangkalan mereka karena
saat itu sedang diserang. “Kami harus menyelamatkan diri kami ketika
orang-orang tersebut mengancam untuk membunuh kami,” ujar Juru Bicara
Kepolisian Papua, Komisaris Pudjo Sulistyo pada tahun 2015. “Ini masalah hidup
dan mati.”
Menurut
Human Rights Watch, lima orang peserta protes terbunuh dan banyak yang
terluka.
‘Saya Takut Ditangkap oleh Pasukan Militer, Saya Takut
Ditembak’
Berita
tentang pembunuhan tersebut baru sampai di Jakarta keesokan harinya. Tiga
minggu kemudian, Jokowi memberikan pidato yang penuh semangat di Jayapura,
dimana Ia menyampaikan simpati terhadap para keluarga korban dan berjanji untuk
mengusut sejarah kekerasan di Papua. “Saya ingin kasus ini untuk diselesaikan
secepatnya, sehingga tidak akan terjadi lagi di kemudian hari,” ujarnya.
Menteri
Pertahanan dan Keamanan Wiranto mengatakan pada Oktober 2016, bahwa Ia sedang
menyusun mekanisme di luar hukum untuk menyelesaikan sejarah kekerasan hak
asasi manusia. Namun berbagai alasan segera bermunculan. “Sebagian besar
kekerasan tersebut terjadi sudah lama. Beberapa yang terjadi pada tahun 90-an
dan awal tahun 2000-an. Pada intinya kita berkomitmen untuk menyelesaikan
kekerasan-kekerasan ini, namun terdapat proses yang harus dijalani,” ujarnya.
Kemudian
Wiranto menarik kembali ucapannya ketika berbicara dengan TIME di Jakarta pada
tanggal 5 Juni, dan mengatakan bahwa Ia tidak memiliki rencana untuk membangun
mekanisme pengaduan di Papua. Justru, “semuanya akan diselesaikan berdasarkan
hukum,” ujarnya.
Wiranto—yang
dituduh oleh PBB melakukan “kejahatan kemanusiaan” terkait dengan kematian
lebih dari 1.000 orang selama pemilu kemerdekaan berdarah di Timor Timur pada
tahun 1999—mengatakan bahwa 11 kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua
telah diselesaikan, termasuk kejadian di Paniai.
Keluarga
dari para korban di Paniai menanggapi pernyataan tersebut dengan
ketidakpercayaan. “Saya telah diwawancara sebanyak empat kali selama tiga tahun
terakhir, namun tidak ada kemajuan sama sekali,” ujar Yohanes. “Saya lelah.”
Ia
mengatakan bahwa bertahun-tahun setelah kejadian tersebut, Ia masih hidup dalam
ketakutan. “Saya takut,” ujarnya. “Saya takut ditangkap oleh pasukan militer,
saya takut ditembak.”
Saudara
laki-lakinya, Yacobus, menyatakan hal serupa, bahwa masyarakat Paniai merasa
takut ketika berbicara mengenai kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa Ia
dipukuli oleh para pasukan militer setelah membantu mengubur empat orang
korban. “Setelah mengubur korban-korban tersebut, pasukan militer mencari
saya,” ujarnya.
Tempat yang Tragis dan Terlupakan
Penembakkan
tersebut belum berhenti. Pada Selasa, kepolisian Indonesia menembak penduduk di
kabupaten yang bersebelahan dengan Paniai, Deiyai. Satu orang meninggal dan 17
lainnya terluka, termasuk anak-anak, saat konfrontasi yang terjadi antara
penduduk setempat dengan pimpinan perusahaan konstruksi yang menolak membawa
seorang pria yang tidak sadarkan diri ke rumah sakit.
Pria
tersebut, Ravianus Douw (24 tahun), yang tenggelam saat sedang mengambil ikan
di sungai terdekat, meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Para warga yang
marah akhirnya melakukan protes di depan kantor perusahaan tersebut. Polisi
mengatakan bahwa para peserta protes tersebut melemparkan batu ke arah petugas,
yang kemudian membalas dengan menembakkan tembakan peringatan. Namun warga
mengatakan bahwa para anggota Brimob mulai menembak ke arah kerumunan, dan
menewaskan satu orang.
“Kami
sangat panik, kami takut akan ada pembalasan dendam,” ujar Dominggu Badii (29
tahun)—yang tinggal dekat dengan rumah sakit dan menyaksikan korban yang
terluka dibawa masuk—kepada TIME. “Saya saat itu terus bersembunyi di dalam
rumah saya selama dua hari.”
Parlemen
Deiyai telah meminta para petugas yang terlibat untuk diproses hukum, dan
anggota Brimob untuk ditarik dari wilayah tersebut.
Paniai
telah menjadi wilayah yang kerap bermasalah bagi Pemerintah Indonesia. Lemahnya
pembangunan yang berarti, dirasa tidak cukup bagi masyarakat suku Mee, Moni,
Dani, dan Damal, yang tinggal di seberang dataran tinggi Papua. Banyak yang bergabung
dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sekelompok pemberontak yang mengklaim
akan membela hak-hak masyarakat Papua dengan cara melakukan penyerangan yang
sporadis dan menculik para tentara Indonesia. Beberapa pemimpin utama OPM
berasal dari Paniai, termasuk Tadius Yogi dan Daniel Yudas Kogoya.
Sebagai
tanggapannya, ribuan masyarakat Paniai ditangkap dengan semena-mena oleh
pasukan militer selama beberapa tahun, dengan alasan “menyelamatkan kedaulatan
nasional”. Beberapa yang ditangkap tidak pernah ditemukan lagi. Di antara
masyarakat Papua, Paniai dikenal sebagai “tempat yang tragis dan terlupakan”.
Kemiskinan
sangat tidak mencukupi. Beras murah yang dijual di Enarotali masih terlalu
mahal bagi penduduk lokal. Roti sudah tidak terjangkau. Masyarakat kemudian
berusaha menanam sendiri makanan mereka: terutama nota, ditambah dengan
beberapa buah dan sayuran berdaun. Berkebun merupakan pekerjaan bagi wanita,
dimana satu orang wanita dapat mengurus empat atau lima lahan perkebunan ubi.
Mereka
biasanya menyimpan sebagian besar hasil panen untuk keluarga mereka, dan
sisanya dijual di pasar lokal. Sepuluh potong nota diberi harga hanya Rp 10
ribu (75 sen).
Seiring
berjalannya waktu, ketimpangan ekonomi semakin tumbuh antara penduduk asli
Papua dan para migran baru, yang tiba dalam jumlah yang lebih banyak sejak
pembukaan rute penerbangan baru di Bandara Nabire. Beberapa pekerjaan yang ada
akan didapatkan oleh para migran yang lebih teredukasi dan lebih kaya. Penduduk
Papua jarang yang memiliki modal atau kemampuan yang dibutuhkan untuk
menjalankan bisnis mereka sendiri sehingga mereka tidak dapat ikut berkompetisi
dengan para migran.
“Para
pemudanya tidak tertarik untuk tinggal di desa…karena tidak ada pekerjaan dan
sulit mencari uang di sini,” ujar John Gobai, Ketua Dewan Suku Paniai.
‘Mereka Tidak Butuh Uang, Mereka hanya Ingin Keadilan’
Terisolasi
membuat masyarakat Papua tertutup matanya. Selain itu, aturan pembatasan
liputan bagi media internasional sangatlah ketat. Awal tahun ini, jurnalis
Perancis Frank Escudie dan Basille Longchamp dideportasi dari Papua karena
“lemahnya koordinasi dengan institusi terkait”, terlepas bahwa mereka telah
mendapatkan izin untuk melakukan peliputan.
Menurut
Phelim Kine, Wakil Direktur Asia di Human Right Watch, janji-janji kampanye
Jokowi pada pemilihan presiden untuk mencabut pembatasan peliputan dan
meningkatkan keterbukaan serta pembangunan, belum terrealisasi. “Terdapat
kesulitan baru bagi para jurnalis asing yang berusaha melakukan liputan dari
wilayah paling timur Indonesia, di Provinsi Papua dan Papuar Barat: penolakan
visa dan masuk ke daftar hitam (blacklisting),” ujarnya dalam sebuah
pernyataan.
Lemahnya
pengawasan pers menunjukkan bahwa tekanan internasional terhadap Pemerintah
Indonesia terbatas hanya pada negara-negara tetangga Papua. Pada bulan Maret,
enam negara pasifik—Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan
Kepulauan Solomon—mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki
“pelanggaran yang bermacam-macam dan telah menyebar” di Papua, termasuk
penembakkan di Paniai. Negara-negara ini, menurut sejarah, juga telah mendukung
OPM.
Juru
Bicara Menteri Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Nasir, menyangkal tuduhan
negara-negara tersebut, dan mengatakan kepada para wartawan di Jakarta, “Di
Indonesia, sistem demokrasi masih berlaku, dan adanya kebebasan pers sehingga
akan sulit untuk menutupi kasus-kasus hak asasi manusia.”
Masyarakat
Papua ingin supaya pemerintah asing untuk memperhatikan hal ini. Ketika
delegasi resmi dari Belanda, yang diwakili oleh Duta Besar Hak Asasi Manusia
Kees Van Baar, mengunjungi Jayapura pada tanggal 4 Mei lalu, penduduk lokal
berteriak dan memohon, “Kami ingin kebebasan,” menurut keterangan sumber yang
juga mendatangi pertemuan tersebut, namun tidak ingin dicantumkan namanya.
Indonesia
akan melakukan pemilihan presiden pada tahun 2019, namun masyarakat Papua
mengatakan bahwa mereka kemungkinan tidak akan mendukung Jokowi lagi. “Jokowi
adalah seseorang yang memiliki niat baik, namun Ia dikelilingi oleh orang-orang
yang terlibat di dalam penembakan Paniai,” ujar Gobai, Ketua Dewan Suku.
Gobai
ingin Jokowi tahu, bahwa masyarakat Paniai hidup di bawah ancaman pasukan
militer yang serakah, berkubang dalam kemiskinan, dengan pendidikan dan layanan
kesehatan yang sangat buruk.
Gobai
mengatakan bahwa masyarakat Paniai—seperti masyarakat Papua lainnya—melihat
dukungan suara untuk Jokowi sebagai “utang” yang harus Ia bayar. “Mereka tidak
ingin uang, mereka hanya ingin keadilan,” ujarnya.
Terlepas
dari ancaman dan intimidasi tersebut, para keluarga korban penembakkan Paniai
melakukan satu tindakan simbolis pemberontakan terakhir: mengubur satu tubuh
korban di tanah yang terletak persis berseberangan dengan kantor polisi dan
pangkalan militer. Mengetahui bahwa keadilan tidak akan pernah ditegakkan,
setidaknya mereka tidak akan membiarkan pihak yang bertanggung jawab atas hal
ini, melupakan kejahatan yang telah dilakukan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Permasalahan
kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional.
Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara
komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan
secara terpadu. Kemiskinan harus menjadi sebuah tujuan utama dari penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi oleh negara Indonesia, karna aspek dasar yang
dapat dijadikan acuan keberhassilan pembangunan ekonomi adalah teratasinya
masalah kemiskinan. Pemerintah indonesia harus terus memberdayakan dan membina
masyarakat miskin untuk dapat mengelola sumber-sumber Ekonomi yang dapat
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Todaro,Michael.1995.Ekonomi Untuk Negara Berkembang.Jakarta: Bumi Aksara.
Komentar
Posting Komentar